Sejarah Pepanthan Karanganom

Orang Kristen Pertama di Karanganom

Karanganom adalah salah satu wilayah Dusun di Kelurahan Ngawis, yang secara geografis terletak di posisi tengah-tengah wilayah Kecamatan Karangmojo. Secara kultur dan menurut pemikiran manusia, rasanya sulit untuk menemukan kekristenan di tempat ini. Namun, karya Tuhan dalam penyelamatan manusia menjadikan segala sesuatu itu menjadi mungkin. Demikian halnya dengan pertumbuhan jemaat Tuhan di wilayah Karanganom.

Lahirnya jemaat Kristen di Karanganom diawali dengan terpanggilnya seorang anak modin bernama Samingu untuk menjadi anak Tuhan melalui perkawinannya dengan Subrantirah, seorang anak Majelis dari GKJ Wonosari Gunungkidul. Pada tahun 1965, Samingu yang baru 3 tahun membangun rumah tangga dengan Subrantirah kembali bermukim ke Karanganom tempat kelahirannya.

Dari keluarga inilah jemaat Tuhan bertumbuh. Kegiatan perkumpulan keluarga dan melantunkan kidung-kidung pujian sering dilakukan, dan rupanya hal ini membuat orang-orang di dekatnya menjadi tertarik. Persekutuan keluarga pada awalnya hanya diikuti oleh pasangan Samingu dan Subrantinah dengan 2 anaknya, dan akhirnya bertambah dengan bergabungnya keluarga-keluarga di dekatnya.

Pertumbuhan Jemaat

Pendampingan yang terus menerus dan penuh kesetiaan terhadap Pepanthan Karanganom dari para tokoh jemaat induk Wiladeg dan Pdt Alfius Suwandi selaku pendeta jemaat. Tentunya atas pertolongan Tuhan sendiri menjadikan semakin banyak orang yang mengenal Tuhan.

Tokoh-tokoh pemuda, seperti: Sayudiyanto, Sunaryanto, Sajir, Sutrisno, dan Sukardi Setiawan adalah generasi muda pada jamannya yang turut menggerakkan tumbuhnya jemaat di Karanganom.

Karena jemaat yang semakin bertumbuh dan agar pelayanan di kelompok Gunungbang lebih tapis, maka kelompok Gunungbang akhirnya mengadakan kegiatan persekutuan sendiri di rumah keluarga Sandiyo, yang merupakan perintis jemaat di Gunungbang.

Salah satu media yang dipakai dalam pewartaan Injil di Karanganom adalah kegiatan “mendengarkan siaran wayang purwa melalui radio” di rumah keluarga Samingu. Kegiatan tersebut dilakukan setelah selesainya kegiatan Katekisasi oleh Pdt Alfius Suwandi. Hadir dalam kegiatan tersebut adalah para kerabat dan tetangga, mengingat radio pada waktu itu masih merupakan barang langka. Dari situlah kekristenan dikenal baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pada tahun 1969, keluarga Andreas Sandi kembali ke Karanganom setelah merantau dari Semarang. Kehadiran keluarga ini turut signifikan dalam proses perkembangan jemaat Karanganom, karena tokoh ini sangat dekat dengan pemuda dan anak-anak. Di tahun-tahun berikutnya, Andreas Sandi kemudian diangkat sebagai Majelis untuk urusan pemuda dan anak-anak.

Pada tahun 1965, atas prakarsa Samingu dan dibantu oleh tokoh-tokoh gereja dari induk GKJ Wiladeg, seperti Suro Sentono, Siswo Harsono, Mangkuhadiatmojo, dan Guru Injil Supadmo telah dapat terselenggara kebaktian minggu, dengan sementara menempati rumah keluarga Samingu. Pertumbuhan jemaat Karanganom juga semakin maju berkat ketekunan para tokoh jemaat setempat, tokoh dari gereja Induk Wiladeg, serta pendampingan dari Pdt. Alfius Suwandi.

Berdirinya Sekolah Minggu

Berdirinya Sekolah Minggu di Karanganom dilatarbelakangi adanya kegiatan persekutuan atau pertemuan malam mingguan yang dilakukan oleh kalangan warga dewasa. Namun, karena banyaknya anak-anak kecil yang ikut dan sering mengantuk akhirnya mengurangi kelancaran acara malam mingguan warga dewasa. Untuk mengatasi masalah tersebut, kemudian dibentuklah kegiatan anak-anak yang dilakukan pada hari minggu dan dilakukan di rumah keluarga Samingu.

Pada tahun 1968, atas prakarsa warga jemaat Karanganom, dibukalah Sekolah Minggu di Gunungbang (dusun di sebelah timur Gelaran, masuk wilayah Desa Bejiharjo). Kegiatan Sekolah Minggu dilaksanakan di SD Gelaran III. Hampir bersamaan dengan itu, dibuka pula kegiatan Sekolah Minggu yang berada di Dusun Ngawis dengan menempati rumah Wagiman. Jumlah siswa Sekolah Minggu di Ngawis tercatat sebanyak 94 anak. Untuk pamong Sekolah Minggu di Ngawis masih dibantu oleh tenaga dari induk Wiladeg, antara lain adalah Mangkuhadiatmojo dan kawan-kawannya.

Berdirinya Pepanthan Karanganom

Dengan bertumbuhnya jemaat di Karanganom, maka kemudian muncullah gagasan untuk mendirikan pepanthan. Gagasan tersebut disampaikan pada sidang Majelis GKJ Wiladeg pada tahun 1974. Akhirnya pada tanggal 15 Desember 1974 diresmikan gereja di Karanganom sebagai pepanthan dari GKJ Wiladeg. Jumlah warga baptis pada waktu itu tercatat sebanyak 46 jiwa.

Riwayat Gedung Gereja Karanganom

Pada tahun 1972, keluarga Samingu menyerahkan tanahnya untuk digunakan membangun gedung gereja dengan status hak pakai. Pada tahun 1975 dbentuk Panitia Pembangunan Gedung Gereja, dan atas berkat Tuhan maka pada tahun 1980 tanah yang semula hanya hak pakai dibeli oleh jemaat. Pada tahun 1981 dimulailah pembangunan gedung gereja Karanganom dengan stimulus bantuan dari LEPKI Malang serta bantuan perorangan dari keluarga Suradi (asal Ngawis yang berdomisili di Australia) sebesar Rp 600.000,00. Pada tahun 1985 telah terwujud gedung gereja Pepanthan Karanganom yang ditempati untuk kegiatan jemaat Karanganom sampai saat ini.

*******

Pernyataan/Disclaimer:

Paparan Sejarah dan Perkembangan Jemaat Bejiharjo ini diambil dari Buku Panduan Pendewasaan GKJ Bejiharjo, Edisi 11 April 2009. Paparan didasarkan pada informasi para pelaku sejarah dan narasumber yang terkait dengan perkembangan jemaat di wilayah Bejiharjo. Pencantuman nama-nama yang tertera berikut tidak ada maksud untuk penonjolan diri atau keluarganya, namun karena yang bersangkutan menjadi subjek yang terlibat dalam sejarah perkembangan jemaat di wilayah ini. Penulisan sejarah perkembangan jemaat senantiasa terbuka atas upaya yang bersifat membangun, memperlengkapi dan/atau mengkoreksinya bilamana perlu. — Penulis/editor naskah (2009-2024): Thobat Sakidjo, Hargo Warsono, Dalno Legowo, Joko Yanuwidiasta.