Sejarah GKJ Bejiharjo

Sekilas Info

GKJ Bejiharjo adalah Gereja Kristen Protestan yang ada di Desa Bejiharjo dan Desa Ngawis, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. GKJ Bejiharjo bagian dari Gereja-gereja Kristen Jawa yang terhimpun dalam Klasis GKJ Gunungkidul, dan menjadi bagian dari Gereja-gereja Kristen Jawa dalam kesatuan Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa.

Kehidupan bersama jemaat GKJ berlandaskan pada Alkitab, PPA-GKJ (Pokok-pokok Ajaran Gereja-gereja Kristen Jawa), Tata Gereja dan Tata Laksana (TGTL) GKJ.

DNA Kami

GKJ Bejiharjo adalah gereja Protestan di tanah Jawa, tumbuh dan berkembang dalam tradisi gereja-gereja Reformasi Calvinis, berjumpa dan berproses dalam tradisi/budaya masyarakat Jawa.

Sistem Tata Kelola

Presbiterial (Sinodal).

Lintasan Sejarah GKJ Bejiharjo

11 April 2009: Sabtu Wage Bersejarah

Sabtu Wage 11 April 2009, dalam masa Paskah dan MPDK 2009, tiga pepanthan GKJ Wiladeg (Bejiharjo, Grogol, dan Karanganom) didewasakan oleh GKJ Wiladeg dengan nama GEREJA KRISTEN JAWA BEJIHARJO. Inilah dimulainya lintasan sejarah tiga pepanthan tersebut menjadi gereja dewasa. Gereja yang mandiri menyelenggarakan organisasi gerejanya, menanggung semua jenis tanggung jawab dalam hal Pekabaran Injil dan Pemeliharaan Jemaat.

Mulai saat pendewasaan tersebut, GKJ Bejiharjo memiliki Majelis Gereja sendiri sebagai perangkat organisasi pengelolanya. Menurut catatan Sinode GKJ, GKJ Bejiharjo adalah gereja mandiri yang ke-299. Menjadi gereja mandiri yang berdiri sejajar dalam memikul tanggung jawab sebagai gereja kristen (protestan/reformasi) di Tanah Jawa yang terhimpun dalam Sinode GKJ.

1936: Orang Kristen Pertama di Bejiharjo

Pada tahun 1936 seorang warga dari Dusun Ngringin Desa Bejiharjo bernama Partowidjojo alias Sandino (1914-2009)  mulai mengenal Kristus melalui karya pelayanan Badan Zending yang ada Kota Wonosari, ibukota Kadipaten Gunungkidul pada waktu itu. Untuk menambah kawruh kekristenan dan juga akan pengharapan mendapatkan pekerjaan, Sandino “ngenger” pada seorang Guru Injil di Kota Wonosari. Atas anugerah Tuhan, melalui dengan dukungan Guru Injil tersebut iman Sandino tumbuh dan berkembang.

Sandino pada jaman penjajahan Jepang pernah menjadi anggota barisan militer PETA (Pembela Tanah Air). Setelah proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia 17 Agustus 1945, ia masuk dalam dinas militer TKR (Tentara Keamanan Rakyat) Republik Indonesia. Setelah melewati masa revolusi fisik, ia kemudian bekerja sebagai Pegawai Negeri pada Jawatan Kesehatan, tepatnya bekerja di Klinik Kesehatan Paliyan.

Partowidjojo dengan istri bernama Ngatirah dan telah dikaruniai 7 (tujuh) anak menerima sakramen baptis di Gereja Paliyan (waktu itu GKJ Wonosari Pepanthan Paliyan) pada  25 Desember 1962. Sakramen baptis kepada keluarga ini  dilayankan oleh Pdt. Hadisiswoyo.

Pada tahun 1964, Partowidjoyo dipindah tugas ke Klinik Kesehatan Karangmojo, dengan demikian dekat dengan desa kelahirannya Desa Bejiharjo. Setelah pendewasaan GKJ Wiladeg sebagai pembiakan dari GKJ Wonosari pada 1967, Partowidjojo ditetapkan sebagai Majelis GKJ Wiladeg. Dari 9 (sembilan) jiwa dalam keluarga yang menerima tanda baptis pada 1962 inilah jemaat Tuhan di Bejiharjo berawal, dan mulai bertumbuh kembang.

1959: Tumbuhnya Kelompok PA Remaja-Pemuda di Bejiharjo

Tumbuhnya kelompok PA (Pemahaman Alkitab) di Bejiharjo yang pada jaman dahulu disebut sebagai Bebel Kring (Bijbel Kring) diawali pada periode 1959-1962-an. Pertumbuhan ini dipelopori oleh para remaja-pemuda yang saat itu menempuh pendidikan di SMP BOPKRI WANASARI. Para remaja-pemuda tersebut antara lain adalah: Sugimin, Sakidjo, Rebito, Ester Muria, Aliman, Sumarni, Sumaryati, dan Sri Sayekti. Dari kelompok kecil inilah kegiatan Bebel Kring didirikan. Kelompok kecil yang kemudian menjalar diikuti para remaja-pemuda lainnya, sehingga muncullah kelompok-kelompok PA atau Bebel Kring di Dusun Ngringin, Dusun Kulwo, Dusun Gunungsari. Kelompok-kelompok Bebel Kring inilah yang akhirnya menjadi cikal bakal berdirinya pepanthan (bakal jemaat) Bejiharjo.

1964: Tumbuhnya Sekolah Minggu

Sekolah Minggu di Desa Bejiharjo mulai diselenggarakan pada tahun 1964. Pertama kali kegiatan bertempat di Dusun Ngringin dengan jumlah murid sebanyak 25 anak. Kegiatan Sekolah Minggu pada waktu itu menempati rumah beberapa keluarga, antara lain: keluarga Partowidjojo, keluarga Mardi Santoso, dan keluarga Iman Sarun.

Seiring perjalanan waktu dan karya pelayanan remaja-pemuda Bejiharjo yang telah mengikuti Bebel Kring dan para tokoh dari gereja induk GKJ Wiladeg, kemudian berkembang kelompok Sekolah Minggu di Dusun Gunungbang (sebelah timur Dusun Gelaran, dekat Sungai Oya). Pada tahun 1965 tumbuh pula kegiatan Sekolah Minggu di Dusun Grogol. Perkembangan selanjutnya, melalui kegiatan Bebel Kring dan Sekolah Minggu tersebut akhirnya menjadi sebuah pepanthan (bakal jemaat) di Bejiharjo. Tercatat beberapa nama tokoh Majelis GKJ Wiladeg yang turut aktif melayani pertumbuhan jemaat di Bejiharjo, di antaranya: Guru Injil Padmowiharjo, Mangku Hadiatmojo, dan Siswo Hadi Sukarno.

12 April 1972: Berdirinya Pepanthan Bejiharjo

Gereja Pepanthan Bejiharjo berdiri dan diresmikan pada tanggal 12 April 1972, bersamaan dengan perayaan hari Paskah. Pada tanggal itulah ibadah perdana diadakan di wilayah Desa Bejiharjo. Gedung gereja ini merupakan bangunan kayu yang cukup sederhana.

Tempat ibadah pertama kali tersebut dibangun dan sementara menumpang pada tanah pekarangan keluarga Ibu Sastro (ibunda Sumaryati, ibu mertua Sukardi HS di Dusun Gunungsari. Gelagar kayu untuk tulangan gedung diperoleh antara lain diperoleh dari bekas gelagar kayu dari gereja induk di Wiladeg. Dinding bangunan berupa gedhek (anyaman bambu), sedangkan lantainya masih berupa tanah liat dan sedikit wedhi (pasir) yang diambil dari kalenan sungai-sungai kecil di sekitar lokasi gereja.

Kesederhanaan dan kebersahajaan bangunan gedung gereja, tidak mengurangi semangat jemaat Pepanthan Bejiharjo untuk terus berkarya menyaksikan Injil Kristus melalui berbagai macam kegiatan, seperti: ibadah minggu, perjamuan kudus, pelayanan nikah suci, Sekolah Minggu, Bebel Kring, dan pertemuan-pertemuan gerejawi lainnya.

Jumlah jemaat Kristen di Bejiharjo saat itu yang telah menerima sakramen Baptis Suci pada saat itu tercatat 91 orang, terdiri dari dewasa 72 orang dan babtis anak 19 orang. Jumlah tersebut tidak terhitung dengan warga yang karena tugas dan kewajibannya meninggalkan Desa Bejiharjo namun masih tercatat sebagai warga gereja Pepanthan Bejiharjo.

Wilayah pelayanan Pepanthan Bejiharjo saat itu meliputi seluruh wilayah administratif pemerintahan Desa Bejiharjo, kecuali wilayah Gunungbang yang dalam perkembangan kemudian masuk dalam wilayah Pepanthan Karanganom. Perlu diketahui bahwa Desa Bejiharjo saat itu terdiri dari 20 pedusunan yang juga menjadi wilayah pelayanan gereja.

Dengan wilayah yang cukup luas itu, maka Pepanthan Bejiharjo memiliki para pelayan yang berjabatan gerejawi sebagai anggota Majelis GKJ Wiladeg. Pada waktu berdirinya Pepanthan Bejiharjo baru memiliki 2 (dua) orang anggota Majelis Gereja, yaitu Aliman DS (Pinisepuh) dan Thobat Sakidjo (Diaken). Pada tahun 1974 dilakukan penambahan Majelis Gereja, atas diri Sukardi HS dan Sugimin TP, masing-masing bertugas sebagai Pinisepuh dan Diaken.

Untuk membantu tugas-tugas pelayanan jemaat dan pelayanan di masyarakat yang semakin berkembang, meskipun statusnya sebagai pepanthan tetap membentuk Komisi-Komisi yang bertugas membantu tugas Majelis. Komisi-komisi yang ada di Pepanthan Bejiharjo tersebut adalah: Komisi Wanita Jemaat, Komisi Pemuda, Komisi Sekolah Minggu, dan Komisi Sosial Ekonomi.

Untuk dapat memangku tugas atau menjalankan tugas komisinya, Pepanthan Bejiharjo secara rutin mengadakan usaha pengkaderan terhadap generasi mudanya, sehingga terjadi proses regenerasi dalam struktur kepengurusan di wilayah pepanthan ini.

Perkembangan Jemaat Kristen di Pepanthan Bejiharjo

Seiring waktu perkembangan jumlah jemaat Kristen yang semakin bertambah anggota dan cakupan wilayah pelayanan yang luas dengan jarak antar Kring yang cukup berjauhan serta karena kapasitas gedung peribadatan yang sudah tidak memadai lagi, maka dengan pelan namun pasti jemaat Pepanthan Bejiharjo berusaha untuk menyiapkan pepanthan baru yaitu Pepanthan Grogol.

Usaha penyiapan pepanthan di wilayah Grogol dirintis sejak tahun 1985, dimana kelompok Jemaat Grogol telah mampu menyelenggarakan peribadatan sendiri dengan sarana dan prasarana yang sederhana. Peribadatan di Jemaat Grogol pertama kali menumpang di rumah Keluarga Antonius Kiman di Dusun Grogol IV. Peribadatan di rumah keluarga ini berjalan selama kurang lebih 2 tahun sembari menyiapkan rumah ibadah secara permanen.

Dengan berbagai upaya yang dilakukan secara swadaya oleh Jemaat Grogol maupun Pepanthan Bejiharjo dan dukungan gereja induk GKJ Wiladeg, maka pada pada tahun 1987 kelompok jemaat Grogol telah berhasil membeli sebidang tanah seluas 225 m2 seharga Rp 700.000,00 dari tanah milik Sutrisno HS, salah satu anggota jemaat Grogol yang berada di Dusun Grogol IV. Di tanah inilah, kelompok Jemaat Grogol membangun rumah ibadah sebagaimana yang diidam-idamkan sejak lama.

Pembangunan gedung gereja Pepanthan Grogol tersebut menghabiskan dana tak kurang dari Rp 1.723.640,00 dengan rincian biaya sebesar Rp 811.140,00 berasal dari swadaya jemaat dan sisanya berasal dari bantuan berbagai pihak. Pada tahap berikutnya, gedung gereja ini diperluas dengan membuat teras dan menghabiskan dana sebesar Rp 212.500,00.

Karena di wilayah Grogol telah memiliki tempat peribadatan sendiri dan jumlah warga pun cukup banyak dan makin bertumbuh dewasa dalam kemampuannya, selanjutnya kelompok Jemaat Grogol dianggap mampu untuk menyelenggarakan peribadatan, pelayanan khusus, dan kegiatan lain-lainnya secara mandiri. Dengan pertimbangan itulah, melalui proses persidangan Majelis GKJ Wiladeg akhirnya ditetapkan kelompok Jemaat Grogol dipandang mampu dan layak untuk berdiri sendiri sebagai Pepanthan, disapih dari Pepanthan Bejiharjo.

Pada hari Minggu tanggal 22 Mei 1988, kelompok Jemaat Grogol disahkan dan dinyatakan sebagai Pepanthan baru dan menjadi bagian dari GKJ Wiladeg yang memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan pepanthan-pepanthan lainnya dalam wilayah pelayanan GKJ Wiladeg.

Ladang Persemaian Jemaat yang Berdiaspora

Demikianlah proses berkembangnya Gereja di wilayah Desa Bejiharjo dari awal sampai perkembangannya yang terjadi saat ini. Jemaat Pepanthan Bejiharjo dan Pepanthan Grogol terus berkembang maju dan bertumbuh. Seiring dengan perkembangan kualitas pendidikan generasi penerus dari pada perintis kekristenan di Desa Bejiharjo, juga berkembanglah proses urbanisasi penduduk yang melanda wilayah perdesaan di Kabupaten Gunungkidul pada umumnya.

Semakin berkembangnya lapangan pekerjaan di luar sektor pertanian, telah mendorong arus urbanisasi di wilayah Desa Bejiharjo. Generasi pertama dan generasi kedua umat Kristen di wilayah Desa Bejiharjo tak pelak juga ikut terdorong dalam arus urbanisasi menjadi kaum perantau di kota-kota besar, seperti Yogyakarta dan sekitarnya, Surakarta, Semarang, Surabaya, Bandung, Jabodetabek, bahkan ada yang merantau sampai di kota-kota besar lainnya di Kepulauan Nusantara.

Secara fisik dan kuantitas, jemaat Kristen di Desa Bejiharjo memang mengalami perkembangan stagnan, karena sebagian besar generasi mudanya menjadi “kaum perantau” dan/atau “kaum beboro” di wilayah perkotaan. Namun demikian, jemaat Kristen di Desa Bejiharjo tetap “tidak merasa kehilangan”, karena toh mereka mereka yang menjadi “perantau” atau “kaum beboro” tetaplah menjadi jemaat Kristen yang tangguh dan ulet dalam kerasnya perjuangan hidup. Tidak sedikit pula di antara mereka yang menjadi motor penggerak gereja di mana mereka berjemaat di tanah perantauannya masing-masing.

Pertanyaan yang muncul kemudian, lantas apa urgensi Pepanthan Bejiharjo dan kedua pepanthan lainnya bertekad menjadi gereja mandiri? Generasi pertama kekristenan di wilayah ini sadar betul, bahwa tugas menjaga dan merawat ladang persemaian bagi munculnya tunas-tunas kekristenan yang akan berdiaspora harus senantiasa tegak, tidak boleh mandeg. Tunas yang pergi, bertumbuh dan berkembang di tanah seberang memang sudah menjadi kemestian. Tunas yang muncul perlu dipupuk, disiangi, sehingga akan menjadi kader yang berkualitas di manapun ia akan berada. Itulah tugas GKJ di ranah perdesaan.

Memanggil Pendeta

Dalam rangka semakin memperlengkapi diri akan tugas panggilan gereja dan semakin mewujudnyatakan kemandirian organisasi gereja, maka sejak 2010 GKJ Bejiharjo telah mengupayakan langkah untuk memanggil pendeta jemaat. Melalui serangkaian proses dan tata cara sesuai Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ, maka pada 11 April 2011 GKJ Bejiharjo telah menahbiskan Vikaris Niluh Putu Artha Wahyuni sebagai pendeta jemaat GKJ Bejiharjo yang pertama.

Gerak dan langkah pelayanan GKJ Bejiharjo bertambah semakin menggelora dengan dimilikinya pendeta jemaat. GKJ Bejiharjo juga lebih dapat berkontribusi dalam pelayanan bersama dalam lingkup Klasis GKJ Gunungkidul dan Sinode GKJ. Dalam perjalanan waktu, Jemaat GKJ Bejiharjo ternyata harus kehilangan pendeta jemaat. Karena pada tahun 2019 Pdt Niluh Artha Wahyuni berpulang kepada Tuhan Sang Khalik karena mengalami sakit. Selama kurang lebih 8 tahun Pdt Niluh bersama jemaat GKJ Bejiharjo telah melaksanakan tugas panggilan dan karya pelayanan di tengah jemaat dan masyarakat.

Berselang 4 tahun kemudian, pada 11 April 2023, GKJ Bejiharjo memanggil dan menahbiskan Vikaris Daniel Bimantara sebagai pendeta jemaat kedua di GKJ Bejiharjo. Kehadiran Pdt Daniel Bimantara kembali melengkapi para Penatua dan Diaken GKJ Bejiharjo sebagai penanggung jawab organisasi gereja yang dewasa dan mandiri. Dalam pengharapan kasih dan penyertaan Tuhan Sang Raja Gereja, jemaat GKJ Bejiharjo berupaya terus melaksanakan tugas panggilan gereja di tengah-tengah masyarakat.

*******

Pernyataan/Disclaimer:

Tulisan Sejarah dan Perkembangan Jemaat Bejiharjo ini diambil dari Buku Panduan Pendewasaan GKJ Bejiharjo, Edisi 11 April 2009. Tulisan didasarkan pada informasi para pelaku sejarah dan narasumber yang terkait dengan perkembangan jemaat di wilayah Bejiharjo. Pencantuman nama-nama yang tertera tidak ada maksud untuk penonjolan diri atau keluarganya, namun karena yang bersangkutan menjadi subjek yang terlibat dalam sejarah perkembangan jemaat di wilayah ini. Penulisan sejarah perkembangan jemaat senantiasa terbuka atas upaya yang bersifat membangun, memperlengkapi dan/atau mengkoreksinya bilamana perlu. — Penulis/editor naskah (2009-2024): Thobat Sakidjo, Hargo Warsono, Dalno Legowo, Joko Yanuwidiasta.