Catatan awal: Tulisan ini merupakan karya tulis dari Josef MN Hehanussa, Wakil Rektor Urusan Kemahasiswaan UKDW dan pengajar Fakultas Filsafat Teologi UKDW. Artikel dimuat di Jurnal GEMA, Vol 36 No.1, April 2012). Diunggah ulang di web gkjbejiharjo.org untuk keperluan berbagi pengetahuan (knowledge sharing), terkhusus untuk kepentingan internal karya pelayanan diakonia GKJ Bejiharjo.
Abstraksi: Diakonia seharusnya disejajarkan atau menjadi bagian dari pekabaran Injil. Namun gereja sering gagal dalam melakukan diakonia karena belum dilihat sebagai bagian penting dari pelayanan gereja. Gereja sering kali sibuk dengan urusan internal, atau sibuk dengan pelayanan bagi gereja itu sendiri. Diakonia bahkan sering kurang mendapat prioritas dibandingkan dengan urusan gereja yang terkait dengan dogma atau ajaran. Namun upaya untuk menjadikan diakonia sebagai bagian penting dari pelayanan gereja haruslah sejalan dengan perhatian gereja dan konteks gereja khususnya masyarakat dimana gereja berada. Itu berarti bahwa perkembangan gereja dan masyarakat harus memiliki dampak pada pengembangan diakonia gereja. Dengan demikian diakonia haruslah memperlihatkan keseriusan gereja untuk hadir dan berkarya di tengah-tengah masyarakat. Ada tiga bentuk diakonia yang dapat dikembangkan oleh gereja, yaitu diakonia karitatif, diakonia reformatif dan diakonia transformatif. Konteks masyarakat saat ini, dimana ketidakadilan menjadi konteks yang dominan, menantang gereja untuk tidak hanya melakukan diakonia karitatif atau reformatif, tetapi juga diakonia transformatif.
Pengantar Artikel:
Saat ini pelayanan diakonia telah menjadi sebuah percakapan dan praktek yang umum dalam pelayanan gereja. Namun ada pertanyaan penting yang perlu kita diskusikan bersama: “apakah diakonia merupakan wujud dari kasih Kristus bagi manusia, ataukah sebuah bentuk pelayanan sosial modern yang selalu dikaji dan dikembangkan bentuk-bentuk pelaksanaannya”? Untuk menjawab pertanyaan ini, sejak awal tulisan ini saya ingin memberikan keseimbangan terhadap teks-teks Alkitab yang sering dipakai untuk menggambarkan pelayanan diakonia yang berbasis pada Alkitab. Orang sudah sangat sering atau terbiasa memakai Matius 25:31-46 tentang ‘Penghakiman Terakhir’ dan Lukas 10:25-37 tentang ‘Orang Samaria yang Murah Hati’ untuk membangun sebuah paradigma tentang pelayanan diakonia yang dilakukan oleh gereja (Rössler, 1994:158). Singgih memakai Lukas 10:25-37 untuk menjelaskan bentuk pelayanan diakonia yang keluar dari batas golongan sendiri (Singgih, 1992: 18-19). Namun dalam diskusi-diskusi tentang diakonia gereja penggunaan perikop-perikop ini tidak menolong orang untuk memahami apa sebetulnya diakonia. Penggunaan perikop-perikop ini sering membuat orang melihat pelayanan diakonia menjadi tidak berbeda sama sekali dengan pelayanan sosial modern yang ada dalam masyarakat. Orang tidak lagi melihat diakonia sebagai pelayanan gereja yang bertujuan untuk menjadi “alat untuk menyatakan kemuliaan Tuhan atau ‘Kerajaan Allah’ di dunia ini” (Singgih, 1992: 22). Karena itu menurut saya penting sekali bila orang juga mau memahami pelayanan diakonia gereja dari uraian Kis 6:1-7.
Kisah dalam Kis 6:1-7 berawal dari protes orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani kepada orang-orang Ibrani karena pelayanan ‘pembagian makanan setiap hari kepada janda-janda’ (Gaertner, 2006: 118) dari kalangan orang Yahudi berbahasa Yunani ini terabaikan. Keluhan atau kritik ini sebenarnya menggambarkan apa yang menjadi praktek kekristenan mula-mula saat itu, yaitu pelayanan firman yang berjalan seiring dengan pelayanan sosial gereja. Praktek gereja mula-mula ini, khususnya gereja di Yerusalem, sebenarnya merupakan warisan dari tradisi Yahudi di Sinagoge. Dalam tradisi Yahudi, Sinagoge memiliki minimal dua fungsi, yaitu fungsi religius dan fungsi sosial. Sinagoge bukan hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga menjadi tempat pelayanan kasih kepada kaum miskin (Willimon, 1988: 59).
Pelayanan diakonia gereja ini merupakan satu kesatuan dengan pelayanan firman. Keduanya memiliki arti yang sama penting dan keduanya saling berkaitan satu dengan yang lain. Keduanya merupakan perwujudan ‘Kerajaan Allah’ dalam kehidupan manusia. Yang satu, pelayanan firman, dalam bentuk kata-kata atau verbal, sedangkan yang lain, pelayanan diakonia, dalam bentuk praxis atau karya atau tindakan. Karena keduanya sama-sama merupakan perwujudan ‘Kerajaan Allah’ di tengah-tengah dunia, maka keduanya harus dilakukan dengan serius. Karena itu para rasul memutuskan untuk tidak ‘merangkap’ pekerjaan, karena mereka ingin betul-betul mencurahkan pikiran dan tenaga sepenuhnya pada apa yang sudah menjadi tugas dan tanggung jawab mereka sebelumnya, yaitu pelayanan Firman. Untuk melakukan pelayanan diakonia, dibutuhkan orang-orang yang juga nantinya akan mencurahkan pikiran dan tenaga sepenuhnya pada pelayanan tersebut. Jadi orang-orang yang melakukan pelayanan diakonia juga haruslah orang-orang yang secara penuh waktu memberikan
tenaga dan pikirannya untuk pekerjaan tersebut. Ini menunjukkan bahwa pelayanan diakonia dilakukan secara serius karena dianggap memiliki arti yang sama penting dengan pelayanan firman.
Kegagalan banyak gereja dewasa ini dalam melakukan melakukan diakonia disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain:
- Gereja memberikan perhatian lebih kepada pelayanan firman dibandingkan dengan diakonia, dimana pelayanan diakonia hanya menjadi pelengkap dari pelayanan diakonia hanya menjadi pelengkap dari pelayanan firman, atau tugas dan tanggung jawab gereja yang nomor dua;
- Gereja masih sering menjadikan pelayanan diakonia hanya sebagai pelayanan yang bersifat insidental;
- Pelayanan diakonia hanya menjadi sama seperti tindakan‚ pertolongan pertama pada kecelakaan‘;
- Gereja gagal untuk secara sungguh-sungguh menjadikan pelayanan diakonia sebagai kesaksian gereja dalam menghadirkan kerajaan Allah di tengah-tengah dunia ini, di tengah-tengah kehidupan manusia.
Menghadirkan kerajaan Allah di tengah-tengah dunia ini tidak berarti mengkristenkan dunia ini. Karena itu, pelayanan diakonia gereja juga tidak berarti melakukan pengkristenan terhadap orang-orang yang dilayani oleh gereja. Tetapi gereja juga harus bisa menjadikan pelayanan diakonia gereja sebagai sebuah kesaksian bahwa gereja juga ingin berperan serta dalam menghadirkan kerajaan Allah melalui pelayanan diakonia gereja yang menghadirkan kasih, keadilan, dan damai sejahtera bagi umat manusia. Karena itu saya tidak sependapat dengan orang-orang yang sering berpendapat bahwa kita harus melakukan pelayanan diakonia kepada masyarakat tanpa mereka harus tahu apakah yang memberikan pelayanan kepada mereka itu gereja atau bukan. Dengan kata lain, orang ingin agar gereja melakukan pelayanan diakonia, tetapi gereja sebaiknya menyembunyikan identitas kekristenannya itu. Jika sikap semacam ini dimiliki oleh banyak gereja dalam melakukan pelayanan diakonia, maka gereja belum mampu untuk menjadikan pelayanan diakonia sebagai alat kesaksian gereja di tengah-tengah dunia ini. Sikap semacam ini menurut saya memperlihatkan bahwa gereja pada satu sisi telah menjadikan pelayanan diakonia hanya sebagai sebuah bentuk pelayanan sosial modern, tetapi pada sisi yang lain (kecurigaan saya) memiliki sindrom minoritas dan fobia kristenisasi.
Artikel selengkapnya dapat dibaca/diunduh: klik di sini.