Jangan Mengeraskan Hati!

Bacaan: Ibrani 3:7-19.

Tetapi nasihatilah seorang akan yang lain setiap hari, selama masih dapat dikatakan “hari ini”, supaya jangan ada di antara kamu yang menjadi tegar hatinya karena tipu daya dosa. Karena kita telah beroleh bagian di dalam Kristus, asal saja kita teguh berpegang sampai kepada akhirnya pada keyakinan iman kita yang semula. (Ibr 3:13-14).

Bacaan Lainnya

Renungan:

Pernahkan kita mendengarkan peribahasa Jawa berikut: “mbegugug ngutha waton“? Apa arti sebenarnya pepatah itu?

Mbeguguk artinya: diam, tidak mau bergerak, seperti benteng batu (kutha watu). Telanjur banyak disalah-ucapkan menjadi “Mbeguguk ngutha waton“. Kita bisa bayangkan sebagai orang yang diam di tempat tidak mau digerakkan. Pengertian umumnya adalah orang yang membangkang atas perintah. Istilah ini sebenarnya bagian dari istilah “mbalela” yang sudah menjadi diksi baru dalam Bahasa Indonesia serapan dari Bahasa Jawa; memiliki makna memberontak atau menentang perintah.

Bahasa Kitab Suci nampaknya lebih halus untuk menggambarkan situasi “membangkang perintah” atau “memberontak” seperti ini, yaitu: “mengeraskan hati”. Namun demikian, akibat dari membangkang perintah tidak bisa dipandang remeh, karena orang yang “mengeraskan hati” atau “tegar hatinya” menjadi hal yang dimurkai Allah. Bahkan Tuhan bersumpah dalam murka-Nya, orang yang yang mengeraskan hati tidak layak masuk dalam tempat perhentian-Nya. (Ibr 3:11).

Bacaan Kitab Suci pagi ini menjadi pengingat, kiranya wajar kalau kita membandingkan Yesus dengan Musa: tidak ada seorang pun yang lebih besar dari Musa dalam Perjanjian Lama. Namun sesungguhnya penulis Ibrani ini hanya menyebutkan pengalaman orang-orang di bawah Musa, yaitu orang-orang Yahudi mengembara melintasi padang gurun mencari tanah yang dijanjikan Allah kepada mereka, dan banyak orang tidak tahan terhadap ujian itu.

Melalui Musa, Allah mengundang bangsa Yahudi memasuki dunia baru, tetapi mereka tidak sanggup melihat bahwa mereka harus menaikkan taraf hidup mereka ke suatu tingkat yang lebih tinggi. Segera sesudah kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi tidak terlalu berat, mereka tidak menginginkan lagi Tanah Terjanji.

Sebuah pembelajaran penting bagi kehidupan masa kini, bahwa kaum beriman mesti memulai lagi pencarian “Tanah Terjanji” itu. Dan inilah istirahat yang ditawarkan Allah. Pada mulanya, Musa, hamba Allah yang yang membimbing umat-Nya dan yang bertanggung jawab atas seluruh keluarga milik-Nya. Sekarang adalah Sang Putra yang melakukannya. Orang beriman terkadang mengira akan menemukan peristirahatan dalam arti fisik yaitu sebuah tempat khusus di tanah Palestina. Tetapi istirahat yang sejati adalah kehidupan yang intim dengan Allah yang kita cari melalui iman dan persekutuan umat milik-Nya.

Melalui penulis surat Ibrani, kita diingatkan tentang teguran yang diberikan Tuhan berikut ini: “Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu seperti dalam kegeraman…” (Ibr 3:15). Bahwa jalan pengembaraan kita sebagai orang beriman itu panjang, terkadang melelahkan, serta bisa membuat patah semangat ketika saat-saat sulit itu datang. Namun, kita diteguhkan oleh kata-kata Kristus, kita harus berharap akan apa yang dijanjikan Allah, sesuatu yang tidak tampak di depan mata kita.

Bacaan kita pada hari juga berbicara tentang istirahat Allah sesudah menciptakan dunia. Hal ini berarti alam semesta harus tiba pada suatu titik di mana kita bisa memasuki kepenuhan misteri Allah. Penderitaan dan karya manusia di atas dunia ini membawa seorang manusia kepada akhir yang sejati, yaitu “istirahat” dalam kebahagiaan Allah.

Doa:

Tuhan Yesus, mampukanlah dan kuatkanlah kami dalam menghadapi kesulitan dan penderitaan dalam perjalanan hidup kami. Hindarkanlah kami dari sikap mengeraskan hati, agar kami tidak terjatuh dan kehilangan mahkota kebahagiaan rahmat-Mu. Amin. (KSKK).

* KKSK: Renungan pagi ini disusun ulang dari Catatan Kaki (Tafsir) Alkitab dalam Kitab Suci Komunitas Kristiani Edisi Pastoral (KSKK). (Bernardo Hurault – Pastoral Bible Foundation, Claretian Publications – St Paul – Editorial Verbo Divino, versi Bahasa Indonesia diterbitkan oleh Penerbit OBOR, Jakarta, 2002).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *