Bacaan: Imamat 23:1-8.
Enam hari lamanya boleh dilakukan pekerjaan, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah ada sabat, hari perhentian penuh, yakni hari pertemuan kudus; janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan; itulah sabat bagi TUHAN di segala tempat kediamanmu. (Imamat 23:3).
Renungan:
Dalam kehidupan yang semakin sibuk dan dipenuhi oleh berbagai tuntutan, kita sering kali melupakan bahwa waktu adalah milik Tuhan. Kita mudah terjebak dalam rutinitas dan pekerjaan, hingga melupakan hal yang terpenting, yaitu menyediakan ruang bagi Tuhan untuk hadir dalam hari-hari kita. Imamat 23 adalah pengingat yang kuat bahwa Tuhan sendiri menetapkan waktu-waktu khusus untuk umat-Nya. Bukan semata untuk beristirahat secara fisik, tetapi juga untuk membangun kembali hubungan dengan-Nya.
Tuhan memanggil umat-Nya untuk menghargai dan menjaga waktu-waktu khusus yang telah Ia tetapkan. Dalam Imamat 23:1-8, Tuhan memberikan perintah kepada Musa untuk menyampaikan kepada bangsa Israel mengenai hari-hari raya yang harus mereka rayakan sebagai pertemuan kudus. Ini bukan hari biasa. Ini adalah hari-hari yang dipisahkan oleh Tuhan sendiri. Tuhan tidak hanya mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, tetapi juga menetapkan kapan umat-Nya harus berhenti sejenak untuk bertemu dengan-Nya. Ini adalah waktu yang kudus, waktu yang dipisahkan. Melalui renungan ini, mari kita belajar untuk menata kembali kehidupan kita, agar waktu-waktu kita pun menjadi waktu yang memuliakan Tuhan.
Ayat 1–2 menunjukkan bahwa perayaan ini bukan sekadar tradisi, tapi perintah langsung dari Allah. Kita diingatkan bahwa ada waktu-waktu dalam hidup kita yang harus kita persembahkan sepenuhnya kepada Tuhan, tanpa gangguan, tanpa agenda pribadi. Dalam dunia yang penuh kesibukan, Tuhan tetap ingin menjadi pusat dari waktu kita.
Ayat 3 mengingatkan tentang hari Sabat, hari istirahat. Bukan hanya berhenti dari pekerjaan, tapi sungguh-sungguh berhenti untuk hadir bersama Tuhan. Sabat bukanlah beban, tapi anugerah, yaitu hari untuk menyadari bahwa hidup bukan semata-mata soal produktivitas, tapi tentang hubungan dengan Sang Pencipta.
Ayat 4–5 berbicara tentang Paskah, pengingat akan pembebasan umat Israel dari Mesir. Dalam terang Perjanjian Baru, ini adalah gambaran dari Kristus yang menjadi Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia. Paskah adalah awal dari kehidupan baru, titik tolak dari perjalanan iman kita.
Ayat 6 membawa kita kepada Hari Raya Roti Tidak Beragi, di mana selama tujuh hari umat Israel tidak boleh makan roti yang beragi. Ragi dalam Alkitab sering melambangkan dosa atau kemunafikan. Tuhan ingin umat-Nya hidup dalam kemurnian dan ketulusan. Hidup baru dalam Tuhan bukan hanya bebas dari perbudakan, tapi juga hidup yang terus-menerus disucikan.
Ayat 7–8 menetapkan hari pertama dan ketujuh sebagai hari pertemuan kudus. Ini menggambarkan bahwa awal dan akhir dari perjalanan kita harus dipenuhi oleh kehadiran Tuhan. Dan di antara itu, ada persembahan—tanda kesetiaan, pengorbanan, dan penghormatan kepada Tuhan.
Tuhan tidak hanya menetapkan hari-hari raya di masa lalu untuk umat Israel, tetapi juga sedang mengajar kita hari ini untuk menghargai kekudusan dalam keseharian. Imamat 23:1–8 mengingatkan bahwa hidup yang dipisahkan bagi Tuhan bukan hanya tentang perayaan besar, tapi tentang kesetiaan dalam hal-hal kecil—waktu, kekudusan, dan pertemuan dengan-Nya.
Mari kita renungkan: Apakah hidupku mencerminkan kehidupan yang tanpa ragi—jujur, bersih, dan kudus di hadapan Tuhan? Apakah aku memberi ruang bagi Tuhan dalam hariku, atau sekadar menyisakan sisa waktu? Tuhan tidak pernah menuntut sesuatu yang Ia sendiri tidak berikan. Ia memberi waktu-Nya bagi kita setiap hari. Ia rindu agar kita pun mempersembahkan waktu kita sebagai tanda kasih, hormat, dan ketaatan.
Doa:
Tuhan, ajarilah aku untuk menghargai waktu yang Kau tentukan. Bersihkan hidupku dari “ragi” dosa, dan tolong aku untuk hidup dalam kekudusan dan pertemuan yang terus-menerus dengan-Mu. Amin. (Lasmiyati – Kulwo).