Bacaan: Matius 15:1-9.
Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. (Mat 15:8-9).
Renungan:
Kehidupan bersama dalam komunitas dan masyarakat tak dapat dilepaskan dari kebiasaan dan adat istiadat yang terbiasa dilakukan secara bersama-sama dan diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi. Kebiasaan yang terbiasa dilakukan pada akhirnya menjadi tradisi dan adat istiadat. Orang yang tidak mengikuti kebiasaan dan adat istiadat terkadang dipandang orang yang melanggar tradisi, dipandang sebagai orang yang aneh, dan bisa saja dikeluarkan dari komunitas tersebut.
Bacaan Kitab Suci pagi ini juga menjadi perenungan kita bersama bagaimana kita memandang kebiasaan dan adat istiadat dalam terang firman Tuhan. Orang-orang Farisi memelihara suatu kebiasaan yang sangat bagus dan yang masih kita praktekkan sampai saat ini. Tetapi, visi Yesus melebihi dari apa yang disebut kebiasaan dan adat istiadat itu.
Segala kebiasaan baik dan praktek-praktek keagamaan termasuk pesta-pesta dan meditasi-meditasi mudah menjadi bagai dinding asap yang menyembunyikan hal-hal penting dari kita. Misalnya, kesiap-sediaan mendengarkan panggilan Allah, kepercayaan sederhana pada belas kasihan-Nya yang adalah jalan satu-satunya yang bisa menyelamatkan kita.
Semua orang telah merasakan kebutuhan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, tetapi pembedaan itu berdasarkan kriteria manusia sendiri. Yesus mengadili kriteria-kriteria itu.
Bagi orang Yahudi, menyembah Allah adalah segala-galanya dan mereka merasa sangat prihatin tentang siapa dan hal-hal mana saja patut dimasukkan dalam sembah sujud itu. Maka mereka membedakan antara hal-hal yang tahir dan najis. Yesus menunjukkan bahwa kemurnian sejati adalah kemurnian dalam hati.
Kita tidak bisa memastikan apakah kebiasaan dan adat-istiadat termasuk peraturan yang mengatur tingkah laku dalam masyarakat dan perkumpulan sosial bukanlah cara modern untuk menentukan yang tahir fan najis. Dalam gereja sendiri, pada abad-abad yang lampau ada kecenderungan untuk mengaitkan dengan pelayan-pelayan keagamaan suatu “kemurnian” yang membuat mereka layak berkontak dengan segala sesuatu yang kudus. Oleh karena itu, pada abad pertengahan, roti perjamuan kudus tidak diberikan lagi pada tangan umat, padahal menyambut dengan tangan sudah berlaku selama lebih dari sepuluh abad.
Mari kembali merenungkan, manakah yang perlu diutamakan: perintah Allah atau kebiasaan dan adat istiadat?
Doa:
Tuhan Allah Bapa kami, ajarlah dan mampukanlah kami untuk mengikuti perintah-Mu dengan segenap hati, sepenuh akal budi, dan sepenuh kekuatan kami. Amin. (KSKK)
—
* KSKK: Renungan pagi ini disusun ulang dari Catatan Kaki (Tafsir) Alkitab dalam Kitab Suci Komunitas Kristiani Edisi Pastoral (KSKK). (Bernardo Hurault – Pastoral Bible Foundation, Claretian Publications – St Paul – Editorial Verbo Divino, versi Bahasa Indonesia diterbitkan oleh Penerbit OBOR, Jakarta, 2002).