Berjalan Bersama yang Tersingkirkan

Bacaan: Yeremia 23:1-6; Kolose 1;11-20; Lukas 23:33-34.

“Dan Aku sendiri akan mengumpulkan sisa-sisa kambing domba-Ku dari segala negeri ke mana Aku mencerai-beraikan mereka dan Aku akan membawa mereka kembali ke padang mereka; mereka akan berkembang biak dan bertambah banyak.” (Yeremia 23:3).

Bacaan Lainnya

Renungan:

Bapak/Ibu/Saudara terkasih, pernahkah kita bertanya pada diri sendiri: Mengapa saya tidak punya banyak teman dekat yang benar-benar nyaman? Mengapa penampilan saya terasa kurang cocok dengan kelompok itu? Mengapa saya selalu tidak diajak berdiskusi? Mengapa saya merasa kurang aktif atau tidak bisa mengikuti pembicaraan? Mengapa bahasa yang dipakai teman-teman justru membuat saya merasa asing?

Perasaan seperti ini tidak hanya menunjukkan betapa mudahnya seseorang tersingkir, tetapi juga membuka mata bahwa setiap orang, termasuk kita sendiri, pernah berada di posisi itu. Tetapi pertanyaan yang lebih tajam justru ini: Apakah jangan-jangan selama ini bukan hanya kita yang merasa tersingkir, namun justru kitalah yang sedang menyingkirkan orang lain? Mungkin kita tanpa sadar sedang menghindari orang tertentu, malas berbicara dengan yang tidak “se-frekuensi”, atau merasa tidak nyaman dengan mereka yang berbeda cara berpikir, bahasa, atau penampilan.

Ketika kita memikirkan pihak yang termasuk “tersingkirkan,” sering kali bayangan kita melayang pada kelompok yang sangat jauh dari kehidupan kita, misalnya kaum marginal, korban pelanggaran HAM berat, atau kelompok rentan tertentu. Tetapi jika kita jujur, pihak yang tersingkir sering kali justru orang yang sangat dekat: anggota keluarga yang paling jarang aktif di grup WhatsApp, rekan kerja yang tidak pernah kita sapa karena terasa “aneh,” teman yang pendiam, orang yang pekerjaannya kita anggap tidak bergengsi, atau mereka yang memiliki kebutuhan khusus yang membuat kita canggung. Ironisnya, kita bisa mengagumi kasih Tuhan kepada “yang jauh,” namun gagal menyadari bahwa kita mengabaikan orang yang duduk bersebelahan dengan kita.

Ayat-ayat hari ini menunjukkan wajah Allah yang berpihak pada mereka yang dipinggirkan. Yeremia 23:1 menggambarkan Allah yang menegur para gembala yang menelantarkan umat dan berjanji untuk mengumpulkan kembali mereka yang tercerai-berai dan memberi mereka pemimpin yang adil. Kolose 1:20 menunjukkan Kristus sebagai pusat pendamaian, yang mendamaikan segala sesuatu, termasuk mereka yang terasing atau jauh.

Puncaknya, Lukas 23:33–34 menampilkan Yesus yang berjalan bersama para tersingkir (penjahat yang ikut disalib bersamaNya), bahkan hingga tergantung di antara dua penjahat tersebut. Ia tidak menolak mereka, meskipun Ia bukan bagian dari kelompok itu. Di titik paling ekstrem, Ia berada di tengah mereka yang tersingkir, tidak sekadar melihat mereka dari jauh. Lebih lagi, Ia mengampuni orang-orang yang memperlakukannya dengan kejam dan tidak adil “Bapa, ampunilah mereka…” (ayat 34). Ia hadir di tengah mereka, merangkul mereka, dan mengulurkan pengampunan yang tidak masuk akal bagi dunia.

Berjalan bersama mereka yang tersingkirkan berarti lebih dari sekadar memberi bantuan materi. Ini adalah komitmen untuk mendengar cerita mereka, memahami pergumulan mereka, menghormati martabat mereka, dan memberi ruang agar suara mereka turut menentukan arah kehidupan bersama. Kita dipanggil bukan hanya untuk menolong, tetapi juga untuk membangun jembatan antara mereka yang memiliki kekuatan dan mereka yang kurang didengar.

Ketika kita memilih untuk menyapa rekan kerja yang jarang diajak bicara, melibatkan anggota keluarga yang cenderung diam, membuka ruang bagi orang yang “tidak biasa,” atau memberi kesempatan bagi mereka yang sering terabaikan, kita sedang mewujudkan kasih yang mengalir dari salib. Dalam langkah-langkah kecil inilah, dunia menjadi sedikit lebih manusiawi dan kita berjalan semakin dekat dengan hati Kristus.

Pertanyaannya kini kembali kepada kita: Siapa orang di sekitar kita yang sedang “tersingkir”? Hadirlah untuknya. Hari ini, coba ajaklah dia berkomunikasi, sebuah langkah kecil yang mungkin mengubah hidupnya dan juga hati kita.

Doa:

Tuhan, lembutkanlah hati kami agar berani mendekati mereka yang jauh dan ajarilah kami mencintai seperti Yesus yang hadir di tengah yang tersingkir. Bentuklah kami menjadi ruang aman bagi setiap jiwa yang terluka. Amin. (Kintan Limiansih, Wonocatur).

 

 

Pos terkait