Bacaan: Amsal 15:8–11, 24–33; Mazmur 32:1–7; 2 Korintus 1:1–11.
“Selama aku berdiam diri, tulang-tulangku menjadi lesu karena aku mengeluh sepanjang hari.” (Mazmur 32:3).
Renungan:
Ada jenis luka yang tidak tampak di tubuh, tetapi terasa menekan di dada. Luka karena rasa bersalah, karena kehilangan, atau karena menyadari bahwa yang kita anggap kuat ternyata rapuh. Di masa-masa seperti itu, kita sering berusaha menutupi atau melarikan diri darinya. Namun, Kitab Suci justru mengajak kita menghadapi luka itu dengan apa adanya.
Amsal 15 menggambarkan bahwa Tuhan tidak hanya terkesima pada ritual yang dilakukan manusia, melainkan pada hati yang jujur. Persembahan orang fasik tidak berkenan bukan karena bentuknya salah, tetapi karena lahir dari hati yang tidak mau diubah. Hikmat sejati berawal dari takut akan Tuhan, yaitu kesadaran bahwa hidup ini bukan sepenuhnya milik kita. Di situlah luka karena teguran berubah menjadi awal pertumbuhan.
Mazmur 32 menyingkap kejujuran batin Daud. Ia menulis, “Selama aku berdiam diri, tulang-tulangku menjadi lesu karena aku mengeluh sepanjang hari.” Tekanan moral akibat dosa yang tidak diakui berubah menjadi beban yang menggerogoti dari dalam. Namun ketika ia berani berkata, “Aku akan mengaku kepada TUHAN pelanggaran-pelanggaranku,” maka kelegaan datang. Pengampunan hadir, bukan penghukuman. Luka batin berubah menjadi pintu menuju pemulihan.
Rasul Paulus dalam suratnya 2 Korintus 1 membawa refleksi itu lebih jauh. Ia menulis bahwa Allah “menghibur kami dalam segala penderitaan kami, supaya kami sanggup menghibur mereka yang berada dalam bermacam-macam penderitaan.” Bagi Paulus, penderitaan bukan akhir dari kasih Allah, melainkan sarana untuk mengalami kasih itu secara lebih nyata. Luka yang dialaminya tidak membuatnya pahit, tetapi justru menumbuhkan empati. Dari pengalaman diselamatkan di tengah tekanan, ia belajar memberi penghiburan kepada orang lain yang menderita.
Ketiga bacaan pagi ini menggambarkan beberapa pembelajaran rohani yang penting, yaitu: kejujuran, pertobatan, dan pengharapan. Hikmat menuntun kita untuk rendah hati, Mazmur mengajarkan kelegaan lewat pengakuan, dan Paulus menunjukkan bagaimana penderitaan dapat melahirkan solidaritas. Jalan rohani tidak selalu berupa kemenangan yang mudah, tetapi perjalanan dari luka menuju pemulihan.
Di tengah dunia yang terbiasa menyembunyikan luka dengan citra seolah bahagia, justru keimanan mengajak kita berhenti sejenak, menatap luka itu, dan membiarkan kasih Tuhan menyentuhnya. Sebab hanya mereka yang berani jujur tentang lukanya yang akhirnya mampu menjadi sumber penghiburan bagi sesamanya.
Bapak, Ibu, Saudaraku terkasih. Mungkin saat ini kita masih membawa luka yang belum sembuh, entah karena kesalahan sendiri atau karena kesalahan orang lain. Namun di balik setiap luka, Tuhan sedang mengajar kita untuk menjadi kuat tanpa mengeras. Menjadi ikhlas tanpa menyerah, dan menjadi lembut tanpa kehilangan arah. Sebab hanya mereka yang pernah belajar dari luka yang sungguh dapat menghibur dengan empati dan ketulusan.
Doa:
Tuhan yang penuh kasih, terima kasih karena di balik setiap luka, Engkau hadir membawa penghiburan. Ajarlah kami untuk jujur di hadapan-Mu, agar dari hati yang dipulihkan kami pun mampu menguatkan sesama. Dalam nama Tuhan Yesus Kristus kami berserah. Amin. (Yudistira Widi P – Kulwo).





