Menjadi Priyayi

Bacaan: Matius 20:20-28.

Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. (Matius 20:26).

Bacaan Lainnya

Renungan:

Dalam budaya masyarakat Jawa tempo dulu, menjadi priyayi adalah pencapaian kedudukan yang sangat diidam-idamkan. Gema dan pengaruhnya bahkan masih terasa melekat dalam lingkup pergaulan masa kini. Lihat saja, masih banyak ungkapan para orang tua ketika berharap anaknya kelak menjadi pejabat pemerintah, pegawai negeri, hakim, jaksa, polisi, tentara, dokter, bankir, dan sebagainya. Di sisi lain, masih ada anggapan seorang anak yang pencapaiannya menjadi pegawai swasta, petani, peternak, pedagang dan seterusnya adalah sekadar menjadi warga masyarakat kelas rendahan.

Pada jaman dulu, yang disebut priyayi hanya diberikan terbatas untuk golongan bangsawan atau keturunan raja dan keluarga kerajaan. Kemudian pada era kolonialisme, sebutan priyayi juga disematkan bagi para pegawai negeri atau birokrat yang bukan keturunan bangsawan namun memiliki pendidikan yang tinggi. Menjadi priyayi berarti masuk dalam golongan sosial tinggi, memiliki kedudukan terhormat, berpengaruh, dan mapan kehidupan ekonominya. Masuk ke dalam kaum priyayi juga dipandang sebagai golongan yang memiliki nilai-nilai, kehalusan budaya, dan tingkah laku khas yang membedakan mereka dari kelompok sosial lainnya.

Pertanyaannya, apakah salah apabila seseorang menjadi golongan masyarakat yang disebut sebagai kaum priyayi itu? Tidak juga. Lantas apa dan mengapa dipermasalahkan? Benar memang masuk menjadi golongan priyayi itu tidak salah dan tidak ada pihak yang bisa melarang seseorang yang menjadi priyayi atau menyebut orang lain sebagai seorang priyayi. Hasrat untuk masuk menjadi kaum terhormat, terpandang, berpengaruh dan memiliki kekuasaan sebagaimana digambarkan menjadi kaum priyayi itu sudah ada sejak jaman lampau.

Saudaraku terkasih, bacaan Kitab Suci pagi ini mengingatkan kita akan perkara ini. Keinginan untuk menjadi orang yang terhormat, terpandang, berpengaruh dan memiliki kekuasaan itu ternyata juga ada dalam pikiran para pengikut Yesus. Ibu dari Yakobus dan Yohanes meminta Yesus agar kedua anaknya diberi posisi terhormat, agar mereka kelak boleh duduk di sebelah kanan dan kiri dalam tahta kerajaan-Nya. Namun, Yesus menegur keras mereka dengan mengatakan bahwa mereka tidak mengerti apa yang dimintanya.

Marilah Saudaraku untuk senantiasa mengingat dan melakukan apa yang telah Yesus perintahkan ini. Berkeinginan untuk menjadi terhormat, terpandang, berpengaruh dan memiliki kekuasaaan terkadang menjadi pencetus tidak baiknya perilaku pikir, sikap, dan tindakan. Yesus menandaskan, bahwa siapa yang ingin menjadi besar hendaklah menjadi pelayan, yang ingin menjadi terkemuka hendaklah menjadi hamba. Bahwa sesungguhnya kebaikan, kehormatan, dan lingkar pengaruh adalah buah dari sikap dan tindakan kita yang memberi diri menjadi pelayan bagi sesama. (Joko Yanuwidiasta – Kulwo).

 

 

Pos terkait