Menulis Ulang Naskah Hidup

Bacaan: Yosua 10:16-27, 1 Korintus 5:6b-8.

Sesudah itu Yosua membunuh raja-raja itu, dan menggantung mereka pada lima tiang, dan mereka tinggal tergantung pada tiang-tiang itu sampai matahari terbenam. Tetapi menjelang matahari terbenam, atas perintah Yosua mayat mereka diturunkan dari tiang-tiang itu, dan dilemparkan ke dalam gua, tempat mereka bersembunyi. Lalu mulut gua itu ditutupi orang dengan batu-batu besar, yang masih ada sampai sekarang.(Yosua 10:26-27). — Buanglah ragi yang lama itu, supaya kamu menjadi adonan yang baru, sebab kamu memang tidak beragi. Sebab anak domba Paskah kita juga telah disembelih, yaitu Kristus. (1 Korintus 5:7).

Bacaan Lainnya

Renungan:

Bacaan Alkitab kita pagi ini dalam Yosua 10 : 16 – 27 mengisahkan Yosua yang secara heroik “menghabisi” musuhnya dengan barbar atau bengis seperti dideskripsikan bahwa kelima raja diinjak lehernya, dibunuh dan digantung di 5 pohon dan setelah itu dilemparkan ke gua. Sungguh sangat miris bila dikaitkan dengan sifat Yosua yang tertulis di Alkitab yang digambarkan dengan pribadi yang memiliki karakter yang baik, seperti jujur, bertanggung jawab, beriman, dan setia kepada Tuhan. Ia juga dikenal sebagai pemimpin yang rendah hati, tegas, berwibawa, dan berani.

Ayat Alkitab yang menjadi nats kita kali ini yang ditulis oleh Rasul Paulus sebenarnya adalah antitesa dari tindakan yang dilakukan oleh Yosua.

Tindakan Yosua diibaratkan seperti “roti yang beragi”. Roti yang beragi melambangkan keburukan, kejahatan, kebencian, dan berbagai perilaku buruk lainnya.

Sementara Paulus mengajak kita untuk ” Berpesta” Menggunakan “roti yang tidak beragi.” Roti yang tidak beragi di sini memiliki makna tindakan yang penuh ketulusan, kebenaran, dan kasih, jauh dari sikap dan tindakan yang barbar. Ini yang dimaksud Paulus supaya kita “menuliskan ulang naskah hidup kita.”

Tokoh berpengaruh yang pernah menulis ulang naskah hidupnya adalah mantan Presiden Mesir Anwar Sadat. Dalam hidupnya, dia pernah menyerukan kepada pengikutnya untuk membenci bangsa Israel. Sebagai orang yang sangat memiliki kekuasaan dan pengaruh luas, seruan ini begitu berdampak dan menggelorakan permusuhan yang luas.

Bersyukur kemudian, dia menyadari kekeliruannya dan menulis ulang naskah untuk membuat seruan perdamaian dengan Bangsa Israel dan melahirkan perjanjian Camp David, yang melahirkan suasana yang adem di Timur Tengah, hingga Anwar Sadat dianugerahi Nobel Perdamaian Dunia.

Kalau kita ketik di mesin pencari Google, “siapakah musuh terbesar kita?” Tidak lain dan tidak bukan adalah diri kita sendiri, yaitu ego kita, ego hawa nafsu, ambisi, kekuasaan, kedengkian, gila hormat, gila jabatan, merasa diri selalu benar, dan berbagai sifat buruk lain yang bila diikuti ibarat kata seperti kita menenggak air laut yang asin, semakin banyak kita minum, akan merasakan haus dan tidak ada puasnya.

Merubah makan roti yang beragi menjadi roti yang tidak beragi berarti memulai dengan merubah pola pikir kita, yaitu bahwa musuh yang sebenarnya harus “dimusnahkan” bukan yang berada di luar sana, tapi sebenarnya yang ada dalam diri kita sendiri.

Bagaimana untuk menjadi manusia baru yang makan roti yang tidak beragi yaitu dengan merubah pola pikir kita? Menabur pikiran, akan menuai tindakan; menabur tindakan akan menuai kebiasaan; menabur kebiasaan, akan menuai karakter; menabur karakter, akan menuai takdir.

Mari kita “makan roti yang tidak beragi”. Pada awalnya pasti dirasakan tidak enak, karena bisa jadi kita mesti merubah kebiasaan kita yang sudah mendarah daging, yaitu mendapatkan kehormatan dan keagungan semu dari manusia tapi jauh dari ajaran kasih Tuhan. “Makan roti tidak beragi” juga akan melewati jalan sunyi untuk berkontemplasi, introspeksi diri.

Ini bukan hal yang mudah. Diperlukan disiplin, mentalitas berkelimpahan secara moral, dan konsistensi. Hingga kelak kita bisa menuai takdir yang baik. Membiasakan hal ini berarti secara teratur dan konsisten melatih keempat dimensi diri, yaitu: fisik, mental, emosional, dan spiritual.

Doa:

Tuhan Yang Maha Baik, Berilah kami ketenangan untuk menerima hal-hal yang tidak dapat kami ubah. Berilah kami keberanian untuk mengubah hal-hal yang kami bisa. Berilah kami kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaannya. Mampukan kami merubah musuh diri sendiri menjadi sahabat buat diri sendiri, dari roti yang beragi menjadi roti yang tidak beragi. Dalam kuasaMu kami serahkan sepenuhnya hidup kami. Amin. (Andriyani Widyaningtyas – Kulwo).

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *