Bacaan: Matius 2:13-23.
Maka Yusufpun bangunlah, diambilnya Anak itu serta ibu-Nya malam itu juga, lalu menyingkir ke Mesir, dan tinggal di sana hingga Herodes mati. Hal itu terjadi supaya genaplah yang difirmankan Tuhan oleh nabi: “Dari Mesir Kupanggil Anak-Ku.” (Matius 2:14-15).
Renungan:
Menyingkir tidak berarti tersingkir. Menyingkir tidak berarti menyerah kalah dan menjadi tersingkir untuk selamanya. Menyingkir untuk sementara waktu terkadang menjadi langkah yang tepat untuk menghindari dari marabahaya yang mengancam keselamatan jiwa.
Bacaan Kitab Suci pagi ini mengisahkan peristiwa Yusuf yang membawa Maria dan bayi Yesus menyingkir ke tanah Mesir dan kepulangan keluarga Yusuf ke Nazaret. Yusuf diperintah oleh malaikat Tuhan untuk melarikan diri bersama Maria dan bayi Yesus ke Mesir untuk menghindari pembunuhan oleh Raja Herodes. Lalu setelah Herodes meninggal, mereka kembali ke Israel dan menetap di Nazaret.
Kisah keluarga Yusuf menyingkir ke tanah Mesir adalah wujud ketaatan orang tua kepada petunjuk dan perintah Allah. Sebagai orang tua, Yusuf dan Maria menyadari bahwa anak laki-laki yang bernama Yesus adalah putera Allah yang dipercayakan kepada mereka. Karena itu, mereka menyadari ancaman keselamatan terhadap anak yang dipercayakan kepada mereka, sehingga menyingkir dari wilayah kekuasaan raja Herodes.
Barangkali dalam pikiran kita muncul pertanyaan, mengapa bayi Yesus yang adalah sang Imanuel, Mesias yang dinanti-nantikan kedatanganNya harus menyingkir ke Mesir? Mengapa Yesus sejak masa kecil tidak terhindar dari ancaman, marabahaya, dan ketakutan? Di mana kemahakuasaan dan keadilan Allah? Bukankah Yesus adalah Mesias adalah Putera Allah? Kenapa harus kalah dari ancaman raja Herodes?
Saudaraku terkasih, terkadang kita terbelenggu pada pemikiran atau konsep Sang Mesias sebagaimana raja dan penguasa duniawi. Kisah penyingkiran masa kecil Yesus dan orang tuanya ke Mesir dan kembalinya ke Nasareth Galilea adalah perlawanan terhadap belenggu pemikiran kita. Bahwa Yesus Sang Putera Allah yang mesti menjalani susah-senang, pahit-manis, kecemasan dan ketakutan menghadapi ancaman dan marabahaya sebagaimana yang dihadapi dan dirasakan umat manusia.
Inilah belarasa Allah terhadap manusia. Allah hadir dan menyentuh hidup manusia bukan hanya melalui cara-cara yang supernatural penuh keajaiban mujizat. Melalui diri Yesus manusia sejati menunjukkan kerahiman Allah yang bisa merasakan segala sesuatu sebagaimana yang dirasakan oleh manusia. (Tim Adminweb – JJW).
