Perjanjian Allah dan Relevansinya untuk Pemimpin

Bacaan: Yeremia 33:14-26; Lukas 12:41-48.

“Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketika tuannya itu datang.” (Lukas 12:43).

Bacaan Lainnya

Renungan:

Dalam kitab Yeremia yang menjadi bahasan di atas diberikan judul “Perjanjian (Allah) dengan Keturunan Daud dan Keturunan Lewi.”

Sebelum kita menelaah renungan hari ini, kita perlu memahami apa yang dimaksud dengan perjanjian itu, siapakah keturunan Daud, siapakah keturunan Lewi?

Makna kata perjanjian adalah kesepakatan antara 2 pihak atau lebih yang menimbulkan hubungan hukum dan kewajiban timbal balik atau dalam bahasa sederhana perjanjian adalah janji bersama yang mengikat secara hukum.

Dalam Kitab Yeremia berarti, ada 3 pihak yaitu Allah, keturunan, Daud, dan keturunan Lewi. Allah di sini melalui nubuat Nabi Yeremia.

Lalu, Keturunan Daud merujuk pada garis keturunan langsung raja Daud. Istilah ini sering digunakan untuk merujuk raja-raja Israel dan Yehuda yang memerintah setelah Daud, serta memiliki makna penting dalam konteks nubuatan mesianik. Yesus Kristus juga disebut sebagai “Anak Daud” karena Ia dipercaya sebagai Mesias yang dijanjikan, yang akan memerintah dari keturunan Daud (lewat jalur silsilah Yusuf).

Keturunan Lewi atau lebih dikenal suku Lewi adalah salah satu dari 12 suku Israel, yang memiliki peran khusus dalam agama Israel kuno sebagai penjaga iman dan penjaga Bait Suci di Yerusalem. Tokoh penting dari suku Lewi adalah Musa dan Harun.

Lantas apakah masih ada relevansi suku Lewi dan keturunan raja Daud dalam konteks masa kini?

Garis keturunan Daud memiliki makna penting dalam sejarah dan tradisi Yahudi, serta memiliki relevansi dalam harapan mesianik, karena diharapkan Mesias (Juru Selamat) berasal dari garis keturunan ini. Daud adalah raja kedua kerajaan Israel dan Yehuda dan garis keturunannya dicatat secara rinci. Raja-raja berikutnya di Yehuda juga mengklaim sebagai keturunan Daud untuk melegitimasi pemerintahan mereka. Namun dalam konteks saat ini silsilah lengkap sulit ditemukan, walau beberapa organisasi seperti Daviduc Dynasty telah berupaya melacaknya.

Lalu keturunan Suku Lewi bagaimana? Ya, masih ada hingga sekarang. Mereka memiliki peran penting dalam sejarah dan agama Yahudi, khususnya dalam pelayanan di Bait Suci. Meskipun Bait Suci kini sudah tidak ada, orang Lewi tetap dihormati dalam komunitas Yahudi dan memiliki peran dalam berbagai ritual keagamaan. Diperkirakan ada 500.000 orang Lewi di seluruh dunia dan mayoritas tinggal di Israel, Amerika Utara, dan Eropa. Sebagian besar orang Lewi telah terintegrasi dalam komunitas Yahudi yang lebih luas dan tidak semua dari mereka menjalankan peran keagamaan formal.

Sekarang kita tinjau, bahasan Alkitab Perjanjian Baru dalam Lukas tadi. Di sini Tuhan Yesus memberikan perumpamaan tentang “perjanjian” atau disebut “gentleman’s agreement” adalah perjanjian tidak resmi dan tidak mengikat secara hukum antara kedua belah pihak atau lebih (dalam Alkitab antara tuan dan hamba). Biasanya perjanjian ini bersifat lisan, namun bisa juga tertulis atau dipahami sebagai kesepakatan informal berdasarkan kepercayaan dan etika.

Siapakah hamba dalam Lukas tadi? Hamba memiliki makna yg merujuk pada seseorang yang mengabdi atau melayani orang lain dengan penuh ketaatan dan kesetiaan, bahkan rela menyerahkan kehendaknya. Makna ini bisa menunjukkan hamba kepada manusia, dan yang lebih penting hamba kepada Tuhan.

Menjadi hamba berarti siap melayani baik kepada Tuhan maupun sesama, dan melakukan apapun yang diperintahkan tanpa membantah. Seorang hamba mesti totalitas, menyerahkan diri pada kehendak tuannya di atas kepentingan sendiri. Yesus sendiri menggambarkan diriNya sebagai hamba yang datang bukan untuk dilayani tapi melayani, memberikan nyawanya untuk banyak orang. Jadi menjadi hamba dalam Kitab bukan berarti menunjukkan sikap yang rendah, tapi ketaatan, dedikasi, kerendahan hati untuk melayani.

Lalu siapa Tuan? Tuan dan Tuhan tidak sama, meskipun keduanya dari akar kata yang sama. Tuan merujuk pada seseorang yang memiliki kedudukan atau jabatan yang lebih tinggi, seperti atasan atau majikan, sedangkan Tuhan merujuk pada Yang Maha Kuasa, pencipta alam semesta dalam konteks keagamaan.

Kalau dicermati dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tadi berarti sama-sama membahas tema “perjanjian”, di Yeremia perjanjian keturunan raja (kasta kesatria yang berperan sebagai pelindung masyarakat sekaligus penguasa). Mereka bertanggungjawab atas keamanan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat.

Keturunan Suku Lewi atau boleh disebut ‘kasta Brahmana” adalah para imam, pendeta, kaum cendekiawan, dan guru spiritual yang memiliki kemurnian spiritual yang tertinggi.

Dalam Perjanjian Baru lebih luas lagi bahasannya perjanjian yang dilakukan bukan hanya untuk para kasta tertinggi tadi, tapi juga kepada hamba.

Dalam konteks sekarang, berarti perjanjian berlaku bukan hanya dengan para kasta tertinggi garis keturunan imam dan raja, tapi berlaku untuk semua, termasuk hamba.

Di sini Tuhan Yesus, mengajarkan kita bahwa kita semua adalah leader atau pemimpin untuk diri sendiri atau juga pemimpin untuk orang lain jika dia diberikan kekuasaan. Semua terikat dengan perjanjian kepada “tuan”.

Kita bisa jadi tuan sekaligus hamba untuk diri sendiri, mempunyai tugas yang multi-peran, sehingga Tuhan memberikan perumpamaan yang sangat tegas, supaya bisa membawakan diri dengan benar, sambil menjaga diri dengan penuh kewaspadaan.

Seorang pemimpin entah untuk diri sendiri atau orang lain, mesti bisa menjadi inspirasi dan motivator kalau istilah gaul sekarang bisa memberikan vibes positive bagi sekelilingnya.

Sebagai pemimpin yang dipercaya oleh tuannya untuk mengelola atau membawahi hamba-hamba lain mesti memiliki visi, pengaruh, kharisma, dan memberikan benefit untuk orang lain, tidak boleh bertindak semena-mena seperti yang disebutkan di Lukas tadi, yaitu menganiaya hamba-hamba lain.

Kepemimpinan diri yang baik, tidak memiliki crab mentality atau mentalitas kepiting yang merujuk pada perilaku negatif, dimana seseorang atau sekelompok orang mencoba menghambat atau merendahkan kesuksesan orang lain, dengan sikap meremehkan, mengkritik, menyebarkan gosip,atau tindakan manipulatif lain.

Menjadi pemimpin yang baik juga bukan memiliki mental seperti katak, yang menginjak orang lain bisa demi bisa naik “level” ke atas.

Demikian renungan kita hari ini, semoga kita bisa menjadi para pemimpin yang diberkati Tuhan dalam kerendahan hati di tengah masyarakat yang majemuk ini. Amin. (Andriyani Widyaningtyas – Kulwo).

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *