Bacaan: Lukas 6:6-11.
“Sesudah itu Ia memandang keliling kepada mereka semua, lalu berkata kepada orang sakit itu: ”Ulurkanlah tanganmu!” Orang itu berbuat demikian dan sembuhlah tangannya”. (Lukas 6:10).
Renungan:
Di rumah ibadat pada hari Sabat, Yesus melihat seorang yang tangannya lumpuh. Bagi orang banyak, ia mungkin hanya dianggap sebagai beban. Tetapi Yesus melihat lebih dari sekadar kelemahannya — Ia melihat kebutuhan untuk dipulihkan.
Orang Farisi justru memperhatikan Yesus bukan untuk belajar, melainkan untuk mencari kesalahan. Hati mereka tertutup oleh hukum yang kaku, sehingga mereka kehilangan sukacita menyaksikan kuasa Allah. Mujizat yang seharusnya menjadi alasan untuk bersyukur malah menimbulkan kemarahan.
Hal yang Yesus lakukan justru menunjukkan bahwa kasih Allah melampaui batas aturan. Hari Sabat bukan sekadar soal berhenti bekerja, melainkan kesempatan untuk menjadi saluran kasih, memulihkan, dan menyelamatkan. Yesus mengajarkan bahwa berbuat baik tidak pernah mengenal waktu. Kasih Allah tidak dibatasi oleh aturan manusia. Pemulihan, pertolongan, dan kebaikan harus selalu menjadi prioritas. Sikap yang diambil oleh Yesus justru memperlihatkan keberanian yang juga harus kita teladani.
Kita pun sering seperti orang yang lumpuh — tak berdaya, terikat oleh kelemahan atau dosa. Namun ketika Yesus berkata, “Ulurkanlah tanganmu,” Ia mengundang kita untuk percaya dan taat. Tindakan sederhana itu membawa kuasa pemulihan.
Mari kita mau terus dan berani berbuat baik juga mengasihi walau sudah pasti tantangan itu ada, penolakan itu ada, tapi penyertaan Tuhan akan selalu menjaga dan menguatkan kita dalam iman.
Doa:
Tuhan Yesus, Engkau tahu kelemahan dalam hidup kami. Ajar kami untuk tidak terikat pada aturan yang kaku, tetapi hidup dalam kasih-Mu. Pulihkanlah dengan kuasa-Mu, dan tolonglah kami agar dapat mengulurkan tangan kepada sesama yang membutuhkan. Amin. (Ririn Damayanti – Karanganom).