Bacaan: Yeremia 17:5-10, Lukas 6:17-26.
Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN! Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah. (Yeremia 17:7-8).
Renungan:
Hidup di tengah alam kering batuan kapur seperti wilayah Gunungkidul atau wilayah kering lainnya di Indonesia telah memberikan banyak pelajaran hidup. Utamanya bagaimana harus bertahan hidup ketika musim kemarau dengan kondisi ketersediaan air yang sangat minim. Sumur-sumur menjadi lebih dalam bahkan ada yang kehabisan air. Sumber-sumber mata air mengecil alirannya karena berkurang cadangan airnya.
Pada saat itulah manusia penghuni tanah kering seperti di Gunungkidul ini benar-benar diuji. Secara naluriah mereka menjadi tertempa bagaimana harus bertahan hidup dengan sumber daya air yang sangat terbatas. Mereka menjadi terbiasa mengatur penggunaan air agar mampu bertahan hidup, sembari menunggu dengan penuh harap akan datangnya musim penghujan. Mereka menjadi semakin terasah memprioritaskan bagaimana mengatur kecukupan air untuk minum, untuk memasak, untuk hewan ternaknya, untuk mandi, untuk mencuci, dan seterusnya.
Menjalani hidup di tengah alam yang terbatas sumber daya airnya membuat manusia penghuninya menjadi teruji, dan terus belajar untuk laku prihatin, tidak bermewah-mewah, tidak mengeluh karena kondisi yang berkekurangan. Dan pada akhirnya mampu bersikap hidup bahagia, meskipun keadaannya dapat digolongkan miskin.
Bacaan dari Kitab Yeremia menegaskan tentang terberkatinya orang yang mengandalkan Tuhan dan yang menaruh harapannya kepada Tuhan. Sedangkan bacaan Injil Lukas mengungkap siapa yang sesungguhnya berbahagia.
Yesus menandaskan, yang berbahagia adalah bukan orang yang kaya-raya, bukan orang kecukupan kebutuhan lahir dan batinnya. Tetapi orang yang berbahagia adalah orang yang miskin, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Yang berbahagia adalah mereka yang saat ini lapar, karena akan mendapatkan kepuasan. Yang berbahagia adalah mereka yang hidupnya dalam tangis, karena mereka akan bisa tertawa lepas setelahnya, dan seterusnya.
Mengapa Yesus justru menyatakan berbahagialah mereka yang miskin, yang lapar, yang menangis? Bukanlah mereka yang miskin kenyataannya terseok-seok susah jalan hidupnya?
Saudaraku terkasih, dari bacaan Kitab Suci pagi ini, kita diingatkan bahwa kunci kebahagiaan bukan pada perkara kaya secara duniawi, bukan yang memiliki harta benda yang melimpah-ruah, bukan pula kemudahan dan kemewahan hidup, tetapi yang berbahagia adalah justru mereka yang miskin. Apa sesungguhnya yang disebut miskin? Miskin bisa saja bermakna tidak berlimpah-ruah harta bendanya. Miskin bisa saja berarti tidak berleha-leha dan tidak berfoya-foya gaya hidupnya. Miskin bisa saja berarti harus bekerja keras dan tekun untuk dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.
Lantas bagaimana bisa miskin kok malah bisa menjadi bahagia? Kemelekatan terhadap perkara-perkara duniawi dan berpandangan harus memiliki segala sesuatu yang diinginkan inilah yang sesungguhnya menjadi malapetaka kebahagiaan. Orang yang tidak terikat pada kemelekatan terhadap harta duniawi inilah yang menjadi empunya Kerajaan Sorga. Karena itu, sikap dan perilaku hidup yang mengandalkan Tuhan dan menaruh harapannya kepada Tuhan adalah menanggalkan kemelekatan pada kepemilikan harta dan kekayaan duniawi.
Doa:
Bapa sorgawi, terima kasih hari ini kami diingatkan untuk mensyukuri seluruh kehidupan kami. Ampunilah kesalahan kami ya Tuhan, yang terkadang masih menggerutu akan kondisi kami yang berkekurangan. Kami terkadang tidak terima dengan kemiskinan kami, kami tekadang berontak ketika harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan kami. Terima kasih untuk setiap keadaan yang ada pada diri kami, karena Engkaulah yang akan memberikan kecukupan dan kelegaan dalam perjalanan hidup kami. Amin. (Joko Yanuwidiasta – Kulwo).